Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MAUMERE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Mme RIDOLF DJAMI BILI Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 15 Okt. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Mme
Tanggal Surat Rabu, 14 Okt. 2020
Nomor Surat Nomor 81/FD&R/Pid/X/2020/SKK
Pemohon
NoNama
1RIDOLF DJAMI BILI
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia ,Cq.Kepala Kepolisian Resor Sikka,Cq..Kepala Santuan Reserse Dan Kriminal Polres Sikka
Kuasa Hukum Termohon
NoNamaNama Pihak
1SIPRIANUS RAJAKepala Santuan Reserse Dan Kriminal Polres Sikka
2WAHYU AGHA ARI SEPTYAN SKepala Santuan Reserse Dan Kriminal Polres Sikka
3HERIKSON SAHAT TUA SITOMPULKepala Santuan Reserse Dan Kriminal Polres Sikka
Petitum Permohonan

.   DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Bahwa perlu dipahami dan diketahui lahirnya Lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus Act dalam system peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agat tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun hak-hak asasi manusia;--------
Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Bab XI Bagian Kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum terutama penyelidik/penyidik maupun penuntut umum.

Hal ini bertujuan sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud dan/atau tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini adalah PEMOHON.

Luhut M. Pangaribuan menegaskan bahwa Lembaga Praperadilan yang terdapat dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang ada di Amerika Serikat yang menetapkan prinsip Habeas Corpus dimana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;-----------------------------------------

Bahwa Lembaga Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana untuk menguji apakah tindakan atau upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan penyidik/penuntut umum tersebut telah dilengkapi dengan administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;-----------------------------------------------------
Bahwa tujuan Praperadilan sebagaimana yang tersirat pada Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasai tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun oleh penuntut umum terhadap tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-undang, dilakukan secara professional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;----
Indriyanto Seno Adji, mengatakan bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindak kepolisian dan atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (in casu PEMOHON), sehingga Lembaga Praperadilan ini sebagai pengawas terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh pejabat penyidik dalam batasan tertentu;-------------------------------------------------
Bahwa menurut Loebby Loqman, fungsi habeas corpus sendiri adalah memberikan suatu upaya hukum yang cepat dan tepat dalam hal hilangnya kemerdekaan seseorang dengan dasar yang tidak dapat diterima oleh masyarakat;------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa menurut J King dan Hoffman sebagaimana dikutip oleh Eddyono, mengatakan; habeas corpus tidak menciptakan hak hukum substantif, melainkan memberikan pemulihan atas pelanggaran hak-hak hukum atau atas tindakan mengabaikan kewajiban hukum. Dengan kata lain, habeas corpus adalah mekanisme prosedural penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya peradilan terhadap penyidikan. Habeas corpus yang diadopsi oleh KUHAP mengikuti konsep asli habeas corpus sebelum diformalkan di inggris, terbatas hanya pada tindakan penahanan dengan sedikit penambahan, dimana model pemeriksaannya adalah examinating judge;---------------------------------------------------------------------------
Bahwa menurut Stah’l, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah “rechstaat”, mencakup empat elemen penting yaitu; 1) Perlindungan Hak asasi Manusia; 2) Pembagian Kekuasan; 3) Pemerintahan berdasarkan Undang-undang; dan 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Atas dasar ciri-ciri negara hukum ini, ide sentral negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu kepada prinsip kebebasan dan persamaan.
Bahwa perlakuan terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dalam due proses of law harus memperhatikan kepentingan dan hak asasi setiap orang, yang menjadi bagian dari due process of law. Hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP ditegaskan mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 74. Pengakuan atau perlindungan hak asasi tersangka disini adalah kelanjutan dari pasal 11 UDHR (Universal Declaration Of Human Right) Tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 28 Undang –undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pasal 18 Butir 1 sampai dengan 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;----------------------------------------------------------------------
Bahwa sistim peradilan pidana (criminal justice system) sebagai bagian dari due process of law, memberi arah, tugas dan tata cara penyelidikan dan penyidikan. Pejabat negara yang ditugaskan sebagai penyidik, sebagaimana yang ditegaskan dalam KUHAP memiliki tugas seperti pengkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan. Dalam menjalankan tugas tersebut, tetap harus sesuai dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan misalnya, harus sesuai dengan mekanisme, syarat dan alasannya (Pasal 16-Pasal 19 KUHAP). Begitupun penahanan, harus sesuai dengan syarat, alasan dan tata cara yang ditetapkan dalam KUHAP (Pasal 20-21), termasuk penetapan tersangka juga harus sesuai dengan KUHAP;-----------------------------------------------------
Bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia dapat ditemukan baik dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan tentang prosedur penegakan hukum yang bertujuan mempertahankan hukum materiil (Hukum Pidana), dalam konsiderannya menegaskan “bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tujuan atau esensi dari hukum acara pidana bersinggungan dengan penegakan hak asasi terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam KUHAP.
Bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini telah memuat materi HAM (Hak Asasi Manusia) yang diatur dalam Pasal 28 A ayat (2). Materi mengenai hak memperoleh keadilan terdapat dalam pasal 28 D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selain itu, Pasal 28 I ayat (1) juga menyebutkan hak atas pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun;------------------------------------------------------
Bahwa Hukum Acara Pidana menjamin hak setiap tersangka untuk mengajukan praperadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 79 dan pasal 80 KUHAP. Dalam kenyataannya, kadang penegakan substansi hukum tidak dilaksanakan secara profesional dan proporsional oleh pejabat penyidik;------------------------------
Bahwa menurut Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, dalam penegakan hukum, ada 3 unsur yang harus selalu mendapat perhatian yaitu Keadilan, Kemanfaatan atau Hasil Guna, dan Kepastian Hukum. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kepatuhan terhadap ketertiban adalah syarat pokok untuk masyarakat yang teratur. Tujuan hukum lainnya adalah terciptanya keadilan. Untuk mencapai ketertiban, pergaulan antar manusia dalam masyarakat harus mencerminkan kepastian hukum;------------------------------------------------------------------
Bahwa Lembaga Praperadilan sebagai upaya untuk melakukan pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), telah dijelaskan secara tegas dalam Konsiderans Menimbang huruf (a) dan (e) KUHAP dengan sendirinya menjadi spirit atau semangat ataupun jiwa KUHAP yang berbunyi :

Huruf (a)

Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;-----------------------------------------------

Huruf (c)

Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;------------------------------------------------

Hal ini diperkuat kembali dalan Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka (2) paragraph ke–6 yaitu:

Pembangunan yang demikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun T945;------------------------------------------------------------------

Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menetapkan objek Praperadilan diperluas lagi tidak terbatas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, namun diperluas  dengan adanya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai objek praperadilan dengan amar putusannya sebagai berikut:

Sehingga Pasal 77 huruf (a) KUHAP yang hanya mengatur kewenangan praperadilan sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini Mahkamah Konstitusi memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Perluasan objek praperadilan jelasnya adalah guna memenuhi bunyi Pasal 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum, sehingga asas due process of law harus dijunjung tinggi oleh semua pihak lembaga penegak hukum (Termasuk Penyidik atau Penuntut Umum) guna menghargai hak asasi seseorang in casu PEMOHON.

Bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang, sehingga dengan perluasan objek praperadilan ini memberikan ruang bagi PEMOHON untuk mengajukanPermohonan Praperadilan;----------------------------------------------------------

Bahwa Permohonan Praperadilan yang dapat diajukkan dalam pemeriksaan Praperadilan selain persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan, penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya diberhentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 KUHAP juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara jelas dalam ketentuan Pasal 95 yang menyebutkan :

Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang didasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;--------------------------------------
Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau Ahli warisnya atas penangkapannya atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang didasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan negeri, diputus di sidang Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;----------------------------------

Dengan kata lain bahwa Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alas hukum yang jelas, sehingga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau harkat dan martabat kemanusiaan dan merugikan seseorang in casu adalah PEMOHON. Oleh kerena itu tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON adalah merupakan OBJEK PERMOHONAN PRAPERADILAN ;--------------------------------------------------------

Bahwa substansi yang mendasari poin 8 tersebut diatas maka PEMOHON menjelaskan sebagai berikut :

Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang penyidik maupun penuntut umum diantaranya berupa penetapan seseorang sebagai tersangka, penggeledahan dan penyitaan;---------------
Penetapan seseorang sebagai Tersangka dalam tindak pidana akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat dan martabat seseorang in casu PEMOHON;-------------------------------------------
Bahwa dengan ditetapkan seseorang sebagai tersangka in casu PEMOHON tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka sudah tentu nama baik dan kebebasan seseorang in casu PEMOHON telah di rampas;--------------------------------------------------------------------
Bahwa tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka adalah cacat yuridis, karena TERMOHON dalam melakukan pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap PEMOHON tidak mempunyai legal standing yang kuat sebagai seorang penyidik, dimana kapasitasnya adalah  PENYIDIK PEMBANTU dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan terhadap diri PEMOHON adalah cacat hukum;---------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa akibat tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON secara sewenang-wenang kepada PEMOHON telah mengakibatkan kerugian baik moril maupun materiil. Kerugian moril sulit ditentukan, sedangkan kerugian materiil sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);--------------
Bahwa tindakan lain dari TERMOHON yang secara tendesius menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, merupakan tindakan yang melanggar asas premsumption of  innocence (pra duga tak bersalah);----------------------
Bahwa tindakan TERMOHON yang cacat yuridis sebagaimana dimaksud pada huruf c diatas dibuktikan dengan ditetapkan PEMOHON sebagai Tersangka berdasarkan Laporan Polisi No LP/202/VIII/2020/NTT/Res Sikka tanggal 29 Agustus 2020, padahal perkara a quo merupakan delik aduan yang membutuhkan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang cukup dalam menentukan PEMOHON sebagai Tersangka, karena PEMOHON belum pernah didengar klarifikasi atau interogasi terhadap laporan perkara a quo, namun oleh TERMOHON, pada tanggal 19 September 2020 Pemohon diperiksa sebagai saksi sebagaimana sesuai yang terdapat dalam BAP Tanggal 19 September 2020 dan kemudian oleh TERMOHON langsung menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka;-----------

 

Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh seseorang, maka hal tersebut bukan berarti kesalahan TERMOHON tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalan hal ini melalui lembaga praperadilan, yang dibentuk untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan. Kesewenang-wewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini penyidik. Oleh sebab itu hakim tidak boleh menolak dengan alasan tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan;--------------------------

Dalam hal ini peranan hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya. Dan hal ini juga secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat ( 1) Undang-Undang No.48 Tahun 1997 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :

Pasal 10 ayat (1)

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”

Pasal 5 ayat (1)

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”

 

Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai tersangka merupakan salah satu proses dari system penegakkan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan sesuai prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas dan kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi manusia akan tetap terlindungi dan tetap dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut yaitu penetapan tersangka in casu PEMOHON tidak terpenuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat hukum dan haruslah dikoreksi atau dibatalkan;---------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;

Bahwa beberapa contoh putusan praperadilan tersebut diatas tentunya dapat dijadikan rujukan dan yurisprudensi dalam memeriksa perkara praperadilan atas tindakan penyidik/penuntut umum yang pengaturannya diluar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika kesalahan atau kekeliruan dan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan masyarakat in casu PEMOHON ;----------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Bahwa penetapan status seseorang sebagai tersangka in casu PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang in casu PEMOHON untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsaahan melalui lembaga Praperadilan menjadi sangat tepat.  Upaya penggunaan hak itu selain sesuai dengan spirit atau ruh atau jiwa dari KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi :

“setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”

Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Sehingga setiap tindakan penyidik atau penuntut umum sudah seharusnya tetap mengacu kepada ketentuan yang terkandung dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang dengan jelas mengatur tentang perlindungan dan kepastian hukum serta proses yang adil bagi setiap warga Negara;-------------

 

Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

“Mengadili”,

        Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

...........Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;-------------------------------------------------------------
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;”;-------------------------

Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan  merupakan bagian dari wewenang Praperadilan;---------------------------------------------------------------

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

FAKTA-FAKTA

Bahwa Pemohan adalah warga Negara Indonesia dan warga masyarakat yang lahir di Kabupaten Sabu Raijua yang saat ini berdomisili di Kota Kupang dan sejak tahun 2010 bekerja di PT. Bumi Indah sebagai salah seorang Sarjana Teknik Sipil yang bertanggung jawab pada pekerjaan Bendungan Napung Gete Maumere Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur  ;--------------------------------
Bahwa pada tanggal 16 September 2020 Termohon mengundang Pemohon guna melakukan KLARIFIKASI BIASA dengan Surat Undangan  Nomor: B/1697/IX/2020/Res.Sikka tanggal 16 September 2020, dimana Termohon mengundang Pemohon untuk memberikan klarifikasi biasa terhadap Laporan Polisi Nomor LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020, yang dilaporkan oleh THOMAS GILLY KOTA atas dugaan penggelapan yang dilakukan oleh Pemohon;-----------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa pada tanggal 19 September 2020, Pemohon memenuhi undangan klarifikasi biasa dari Termohon tersebut, namun Bripka Ferdinandus Yoris langsung membuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap diri Pemohon, dalam kedudukan Pemohon sebagai SAKSI atas laporan polisi nomor LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020, sehingga pada tanggal 19 September 2020 tersebut, Pemohon langsung diperiksa dalam kedudukkannya sebagai SAKSI bukan diinterogasi atau klarifikasi;-----------------------
Bahwa setelah keterangan yang disampaikan oleh Pemohon pada pemeriksaan tertanggal 19 September 2020 tersebut, maka pada tanggal 23 September 2020, Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sp.Sidik/112/IX/2020/Reskrim;--------------------------------------------------------------------------
Bahwa setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan tertanggal 23 September 2020, maka, Termohon mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan Nomor: SPDP/86/IX/2020/Reskrim dan kemudian menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan Surat Ketetapan Tersangka Nomor: Sp.Tap/01/IX/2020 tanggal 30 September 2020 tanggal 30 September 2020;--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa selanjutnya berdasarkan Surat Ketetapan Tersangka Nomor: Sp.Tap/01/IX/2020 tanggal 30 September 2020 tersebut, maka Termohon mengeluarkan Surat Panggilan terhadap diri Pemohon dengan Nomor Surat: SP.Gil/152/X/2020/Reskrim tertanggal 01 Oktober 2020, guna menghadap Bripka Ferdinandus Yoris, untuk dimintai keterangan sebagai TERSANGKA atas Laporan Polisi Nomor: LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020, yang dilaporkan oleh THOMAS GILLY KOTA tersebut diatas;-----------------------------------------
Bahwa setelah Pemohon selesai memberikan keterangan sebagai Tersangka pada tanggal 3 Oktober 2020, maka Termohon langsung menahan Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Tp.Han/61/X/2020/Reskrim tanggal 3 Oktober 2020 sampai dengan saat didaftarkannya permohonan ini; ---

 

TENTANG HUKUMNYA

Bahwa  Dr. AMIR ILIAS, S.H., M.H dan APRIYANTO NUSA, S.H.,M.H mengatakan Bahwa : “Penetapan Tersangka merupakan rangkaian yang diawali dari penyelidikan dan penyidikan, Penetapan Tersangka tanpa didahului penyelidikan, penyidikan dan tanpa pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Terlapor atau korban Pelapor sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015, Mengakibatkan Penetapan Tersangka menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan melalui proses Praperadilan, maka permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon adalah sebagai berikut :

Model Laporan Polisi

 

Bahwa berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana Pasal 1 angka 14 menyebutkan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana;-----------------------------------------------------------
Bahwa  pada Pasal 3 ayat (5) Perkap No. 6 Tahun 2019 menyebutkan :

(5). Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, terdiri atas :

a. Laporan Polisi Model A, yaitu : Laporan Polisi yang dibuat oleh Anggota

Polri yang mengalami,mengetahuiataumenemukanlangsung

peristiwa yang terjadi; dan

b. Laporan Polisi Model B, yaitu : Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota

Polri atas laporan yang diterima dari masyarakat;-------------------------------

 

Bahwa dalam Laporan Polisi Nomor :  LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020, TERMOHON tidak mencantumkan model laporan polisi sebagaimana mestinya, yaitu apakah laporan polisi MODEL A atau laporan polisi MODEL B, sehingga dengan demikian Laporan Polisi Nomor :  LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020 harus dinyatakan cacat hukum dan Patut untuk dibatal demi hukum;----------------------------------------

 

Pemohon Tidak diberi hak untuk klarifikasi

 

Bahwa dalam melaksanakan wewenang TERMOHON untuk menjalankan penyelidikan/penyidikan (in casu termasuk dalam wewenang penyelidikan tersebut terkandung wewenang untuk menetapkan tersangka), mutlak harus dilakukan berdasarkan asas fundamental yaitu demi tercapainya kepastian hukum. Asas kepastian hukum memiliki pengertian makna asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepastian dan keadilan dalam setiap menjalankan tugas dan wewenangnya;-------------------------------------------------------------------------------------------
Bahwa pada tanggal 16 September 2020 PEMOHON diundang oleh TERMOHON untuk dilakukan klarifikasi biasa Nomor : B/1697/IX/2020/Res. Sikka Tanggal 16 September 2020 yang bersifat klarifikasi biasa untuk hadir pada tanggal 19 September 2020 jam 09.00 WITA di Ruangan Unit Pidum Satreskrim Polres Sikka, namun ternyata kehadiran PEMOHON pada tanggal 19 September  2020 tersebut, oleh TERMOHON langsung memeriksa Pemohon dengan status sebagai SAKSI, sehingga dalam proses penyelidikan perkara a quo, tidak ada  Interogasi atau klarifikasi sebagaimana sesuai dengan surat Undangan Klarifikasi Biasa dimaksud ;-----------------------------------------------------------
Bahwa dalam perkara a quo Pemohon hanya menerima dua surat Dari TERMOHON yaitu : 1. Surat Undangan Klarifikasi Biasa Nomor : B/1697/IX/2020/Res. Sikka Tanggal 16 September 2020 yang bersifat klarifikasi biasa pada tanggal 19 September 2020, dan 2. Surat Panggilan Sebagai Tersangka Nomor : SP.Gil/152/X/2020/RESKRIM Tertanggal 01 Oktober 2020 yang sifatnya panggilan dari Termohon kepada Pemohon Sebagai Tersangka;
Bahwa dari kedua surat terebut diatas pada poin 2.3. tersebut dapat diketahui, bahwa Pemohon hanya menerima surat Undangan Klarifikasi dan Surat Penggilan untuk didengar keterangannya sebagai Tersangka, sedangkan Surat Panggilan dari Termohon Kepada Pemohon Untuk didengar Keterangan Pemohon Sebagai Saksi tidak pernah ada; 
Bahwa seharusnya sebelum PEMOHON diperiksa sebagai saksi, Termohon terlebih dahulu mendengarkan klarifikasi atau Interogasi dari PEMOHON sebagaimana undangan klarifikasi biasa tersebut, sehingga dugaan atas laporan dugaan tindak pidana sebagaimana laporan polisi Nomor: LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020 tersebut menjadi terang agar dapat ditingkatkan ke penyidikan dan kemudian TERMOHON memanggil PEMOHON untuk didengarkan keterangannya sebagai SAKSI ;------
Bahwa menurut Eddy Os Hiariej, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, haruslah dilakukan berdasarkan bukti permulaan. Eddy Os Hiariej juga menyebutkan bahwa bukti permulaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga meliputi alat bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal yang dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan kepada tersangka (in casu Pemohon), karena pada hakekatnya pasal yang akan dijeratkan kepada tersangka berisikan rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai untuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal.  Dan dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu pihak dengan yang lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Meskipun hal ini tidak diatur dalam KUHAP, namun berdasarkan doktrin, hal ini sangat dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut sebagai unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar;----------------------------------------------
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;----------------------------------------------------------------
Bahwa  berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014. MK, Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai jumlah (alat bukti) dari frasa bukti permulaan, bukti permulaan cukup, dan bukti yang cukup. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;-------------------------------------------------------------------------------
Bahwa terhadap bukti sebagai mana dimaksud pada angkata 2.1 (dua titik satu) tersebut diatas, menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (2) KUHAP harus ditafsir sekurang-kurang 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);----------------------------
Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, telah dapat memberikan keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup;-
Bahwa mengingat dalam perkara ini adalah perkara tindak pidana yang ditangani oleh Termohon, oleh karenanya bukti permulaan yang cukup harus dilakukan berdasarkan pada 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang ditetapkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas dan alat bukti tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan (beyond reasonable doubt), namun terkesan Termohon acuh tak acuh terhadap hal-hal yang sangat prinsipil tersebut, sehingga tanpa disadari tindakan Termohon tersebut adalah merupakan bentuk pendzaliman terhadap diri Pemohon yang buta hukum;---------------------
Bahwa pemeriksaan terhadap diri Pemohon baik dalam bentuk klarifikasi/interogasi maupun sebagai saksi/calon tersangka sangat diperlukan karena dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon adalah bersumber dari sebuah laporan polisi yaitu laporan polisi Nomor: LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020 merupakan delik aduan yang dilaporkan oleh Thomas Gilly Kota, atas dugaan tindak pidana PENGGELAPAN, bukan merupakan perbuatan yang tertangkap tangan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT); -------------------------------------------------------------------
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah didengar keterangannya dalam undangan klarifikasi tertanggal 19 September 2020, namun ketika PEMOHON hadir sesuai surat undangan klarifikasi tersebut, Termohon langsung memeriksa Pemohon sebagai saksi terlapor dalam Laporan Polisi LP/202/VIII/2020/NTT/Res.Sikka tanggal 29 Agustus 2020  dalam kedudukannya sebagai calon tersangka, sehingga pemeriksaan Pemohon sebagai saksi tertangal 19 September 2020 oleh Termohon harus dinyatakan batal demi hukum;---------------------------------------------------------------------------------------

 

Penyidik Tidak Bergelar Sarjana

 

Bahwa pada saat Pemohon diperiksa sebagai Tersangka pada hari Senin, tanggal 3 Oktober 2020 jam 14.30, penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap diri Pemohon  adalah 2 (dua) orang Penyidik Pembantu yaitu Sang Nyoman Parwata, pangkat AIPTU, Nrp. 74060063, Jabatan sebagai PENYIDIK PEMBANTU pada Kantor Kepolisian Resort Sikka dan Ferdinandus Yoris, Pangkat BRIPKA Nrp. 85020923, sebagai PENYIDIK PEMBANTU pada Kantor Kepolisian Resort Sikka ;-------------------------------------------------------------------------------
Bahwa pada saat melakukan pemeriksaan terhadap diri Pemohon tidak ada PENYIDIK yang ikut menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dimaksud, selain 2 (dua) orang penyidik pembantu sebagaimana yang tertuang dalam BAP tertanggal 3 Oktober 2020;-----------------------------------------
Bahwa selain tidak ada Penyidik yang menjadi penanggung jawab dalam proses pembuatan BAP terhadap diri Pemohon, ternyata kedua penyidik pembantu tersebut, tidak bergelar sarjana;---------------------------------------------------
Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 58 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 2A ayat (1) angka 1 menyebutkan:-------------------------------------------------------------------------------

“untuk diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana maksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan:------------------------------------------------------------

Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara”
…………………………….. dst
Bahwa selanjutnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 10 huruf b menyebutkan “persyaratan calon peserta Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Polri meliputi:

……………..
Berijasah sarjana yang terakreditasi, paling rendah strata 1 (S1) dan diutamakan yang berijazah Sarjana Hukum (SH);---------------------------------------
……………. dst

 

Bahwa berdasarkan peraturan perundangan-undangan sebagaimana yang disebutkan  point 3.5 dan point 3.6 bahwa penyidik harus bergelar sarjana Strata 1 (S1) dan bahwa diperkuat lagi dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 menyebutkan persyaratan calon peserta rekrutmen dan seleksi Penyidik Polri wajib berijasah sarjana yang terakreditasi dan diutamakan yang berijasah sarjana hukum, sehingga legal standing penyidik pembantu dalam pembuatan BAP tertanggal 3 Oktober  2020 terhadap diri Pemohon adalah cacat hukum sehingga harus batalkan;--------------------------------------------------------

 

Surat Ketetapan Tersangka dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Belum Diterima Pemohon

 

Bahwa Surat Ketetapan Tersangka atas diri Pemohon sebagai Tersangka Nomor: Sp.Tap/01/IX/2020/Reskrim tanggal 29 September 2020 sampai dengan didaftarkannya permohonan ini oleh Pemohon ke Pengadilan Negeri Maumere belum diberikan oleh Termohon kepada Pemohon, demikian juga dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor: SPDP/86/IX/2020/Reskrim tanggal 29 September 2020;------------------------------------
Bahwa dengan tidak diberikannya Surat Ketetapan Tersangka dan SPDP kepada Pemohon, maka Termohon telah melanggar dan/tidak mematuhi ketentuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/PUUXII/2015 yang menyatakan bahwa “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Korban/Pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, dan selain daripada itu, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi juga memberikan penafsiran sebab akibat dari norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berupa “apabila tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum”;------------------------
Bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 24 April 2014 mengenai perluasan objek praperadilan, maka konsekwensi bagi penyidik apabila melewati waktu 7 (tujuh) hari belum menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penutut Umum, Terlapor dan Korban/pelapor maka penuntut umum dapat menolak berkas perkara yang diajukan penyidik. Apabila penuntut umum memaksakan untuk menerima berkas perkara itu maka kemungkinan tersangka (terlapor) akan memanfaatkan keterlambatan tersebut untuk mengajukan praperadilan;-------

Maka dengan tidak diberikannya Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan Nomor: SPDP/86/IX/2020/Reskrim tanggal 29 September 2020 dan juga Surat Ketetapan Tersangka Nomor: Sp.Tap/01/IX/2020/Reskrim tanggal 29 September 2020kepada Pemohon, maka perbuatan Termohon tersebut dinyatakan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka seluruh proses penyelidikan dan penyidikan terhadap diri Pemohon oleh Termohon harus di nyatakan dibatalkan ;----------------------------------------------------

 

Bahwa berdasarkan fakta dan alasan-alasan yuridis sebagaimana diuraikan diatas, maka melalui permohonan ini, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Maumere melalui Hakim tunggal yang ditetapkan untuk memeriksa dan mengadili Permohonan Praperadilan ini, agar berkenan menjatuhkan putusan yang Amarnya, berbunyi sebagai berikut :

Mengabulkan   Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan hukum Surat Ketetapan Tersangka Nomor : SP.Tap/01/IX/2020/RESKRIM Tanggal 30 September 2020 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga patut dibatalkan demi hukum;
Menyatakan hukum bahwa Ketetapan Pemohon RIDOLF DJAMI BILI Sebagai Tersangka berdasarkan Surat Ketetapan Nomor : SP.Tap/01/IX/2020/RESKRIM Tanggal 30 September  2020  dan Surat Perintah Penahanan Nomor : TP.Han/61/2020/Reskrim Tanggal 03 0ktober 2020 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp. Sidik/112/IX/2020/RESKRIM Tanggal 23 September 2020 tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karenanya tidak memilki kekuatan hukum yang mengikat;
Menyatakan hukum membebaskan Pemohon RIDOLF DJAMI BILI dari ruang tahanan Polres Sikka segera ketika  putusan ini diucapkan;
Menyatakan hukum bahwa segala hasil Penyelidikan dan  Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon terkait tidak adanya Model Laporan Polisi yang tercantum dalam Laporan Polisi Nomor : LP/202/VIII/NTT/Res. Sikka Tanggal 29 Agustus 2020 tentang dugaan tindak pidana  Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372  ayat (1) KUHPidana yang dilaporkan oleh Thomas Gilly Kota adalah tidak sah atau tidak jelas dan tidak berdasarkan hukum sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 pasal 3 angka 5 huruf (a) dan huruf (b) Tentang Laporan Polisi Sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Huruf b, karenanya segala hasil penyidikan tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga harus dibatalkan demi hukum;
Menyatakan hukum BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang dilakukan oleh Termohon tanggal 19 September 2020 pada saat Termohon memeriksa  Pemohon sebagai Saksi adalah  tidak sah atau cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, oleh karena  Termohon tidak memiliki Legal Standing sebagai Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 10 huruf b, dan tindakan Termohon tidak berdasarkan hukum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah  Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sehingga tidak sah dan patut untuk dibatalkan demi hukum;
Menyatakan hukum BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang dilakukan oleh Termohon tanggal 03 Oktober  2020 pada saat Termohon memeriksa Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah atau cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, oleh karena  Termohon tidak memiliki Legal Standing sebagai Penyidik Kepolisian sebagaimana ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rekrutmen dan Seleksi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 10 huruf b, dan tindakan Termohon telah melanggar hukum sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah  Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sehingga tidak sah dan patut untuk dibatalkan demi hukum;  
Menyatakan hukum tidak sah atau batal demi hukum segala putusan atau Ketetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan Ketetapan Tersangka terhadap diri Pemohon dan yang sifatnya merugikan Pemohon;
Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Negara;

 

Apabila Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Maumere melalui Yang Mulia Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);-----------------------------------------

 

Demikianlah permohonan ini, kami buat dengan sebenarnya untuk diajukan atas segala pertimbangan hukumnya tidak lupa kami ucapkan limpah terima kasih

Pihak Dipublikasikan Ya