Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI MAUMERE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2018/PN Mme AGUSTINO LAMENG Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 04 Jun. 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2018/PN Mme
Tanggal Surat Senin, 04 Jun. 2018
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1AGUSTINO LAMENG
Termohon
NoNama
1Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Dengan Hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, Victor Nekur, SH., dan Kasimirus Bara Bheri, SH., Advokat dan Konsultan Hukum dari Orinbao Law Office, yang beralamat di Jl. Don Silipi Rt. 01/Rw. 01, Dusun Tour Orin Bao, Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, terlampir, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:

Nama             : Agustino Lameng

TTL                 : Kupang; 05 Agustus 1965

Pekerjaan      : PNS

Alamat            : Jl. Komodo, Misir, Rt.004/Rw.011, Kel. Madawat, Kec. Alok, Kab. Sikka.

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon, dengan ini mengajukan permohonan pemeriksaan sidang Praperadilan sehubungan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat/Tanda Tangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur cq. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka yang beralamat di Jl. Ahmad Yani Nomor 1 Maumere, untuk selanjutnya disebut Termohon.

Adapun yang menjadi alasan permohonan Pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia.

Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut.

Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).

 

 

Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara.

Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia.

Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia.

Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

 

 

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi, menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon;

 

 

Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pemalusuan Surat/Tandatangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon telah mengabaikan keterangan saksi atas nama Jimmy Yakobus Lameng, S.H, yang mana keterangan saksi a quo telah pula disampaikan secara tertulis yang ditujukan kepada Termohon tertanggal 02 April 2018 (terlampir);
Bahwa oleh karena itu, Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Pemalsuan Surat/Tandatangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah ada pada termohon yang mana telah dijelaskan oleh saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H baik pada saat diambil keterangan oleh Termohon maupun dalam surat saksi a qou kepada Termohon;
Bahwa Pemohon menerima dokumen yang oleh Termohon diangap telah dipalsukan oleh Termohon dari saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H dalam keadaan sudah ditandatangani oleh saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H., Ir. Robertus Lameng dan Thomas Petrus Lameng;

Hal mana sejalan dan sesuai dengan keterangan saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H., dalam Suratnya tertanggal 02 April 2018 pada point 10;

Berdasar pada keterangan saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H. tersebut maka telah terjadi pemutarbalikan fakta oleh Termohon dimana Pemohon yang hanya sebagai penerima dokumen dari saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H., dijadikan tersanga oleh Termohon sedangkan pihak yang terkait langsung dengan adanya dokumen tersebut, dalam hal ini Thomas Petrus Lameng, oleh Termohon tidak pernah disentuh atau telah dibiarkan begitu saja oleh Termohon dalam proses penyelidikan dan atau penyidikan. Apakah wajar secara hukum Pemohon yang hanya menerima dokumen yang diserahkan oleh saksi Jimmy Yakobus Lameng, S.H. dengan sertamerta dijadikan tersangka oleh Termohon?

Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi, antara Pemohon dengan Pelapor terikat secara hukum dalam mengelola Yayasan Budi Mulia Maumere;
Bahwa dalam surat yang telah disampaikan oleh saksi Jimmy Petrus Lameng, S.H., tanggal 02 April 2018 yang ditujukan kepada Termohon, pada point 10 telah menyatakan;

bahwa pada tahun 2013, saya selaku Ketua Pendiri pernah didatangi dan diserahkan sebuah map oleh saudara Ir. Thomas Petrus Lameng yang didalamnya berisi kumpulan beberapa dokumen termasuk Berita Acara Penyerahan Aset Tahun 2013 di Sekretariat Yayasan Budi Mulia Maumere (rumah Alm. Bapak David Lameng) yang sudah ditanda tangani oleh Pendiri Ir. Robertus Lameng dan Thamas Petrus Lameng. Melihat Anggota Pendiri sudah melakukan Tanda Tangan; sebagai ketua Pendiri, sayapun langsung menanda tangani Bertita Acara tersebut dihadapan Ir. Thomas Petrus Lameng.

Pada waktu dan tempat yang sama juga saudara Ir. Thomas Petrus Lameng meminta saya untuk menyerahkan map tersebut kepada Saudara Agustino Lameng, SH. selaku Ketua Pembina Yayasana Budi Mulia Maumere.

Untuk membenarkan keterangan tersebut saya sudah membuat dalam bentuk surat pernyataan tertulis dibawah tangan pada Tanggal 26 Maret 2018.

 

 

 

 

 

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Pemohon tidak dapat kenakan Pasal dalam dugaan Pemalsuan surat/tandatangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.

III. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan tersebut. Negara telah menuangkan dalam Konstitusi (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya harus tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
Praperadilan terhadap penetapan tersangka dapat mendorong perlindungan yang lebih baik dari tindakan para penyidik di kemudian hari sekaligus menjadi koreksi atas tindakan penyidik. Lewat praperadilan atas penetapan tersangka, tindakan abuse of power atau penyalagunaan kewenangan oleh penyidik bisa dihindari. Tentu saja, hakimlah yang berwenang memutuskannya.

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Maumere yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

IV. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Pemalsuan surat/tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur cq. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Timur Resor Sikka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap  Pemohon;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Maumere yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya